
Menurut Erikson, tugas perkembangan individu pada masa dewasa awal adalah membangun intimacy, yakni kemampuan individu untuk membentuk hubungan yang dekat, terbuka, dan penuh komitmen dengan orang lain (Erikson dalam Mitchell dkk., 2021). Salah satu bentuk intimacy yang umum ditunjukkan oleh individu pada masa ini adalah menjalin hubungan percintaan. Pengalaman menjalin hubungan percintaan pada masa dewasa muda dapat menjadi fondasi yang menentukan kesuksesan individu dalam membangun hubungan interpersonal di masa depan (Fincham & Cui dalam Xia dkk., 2018). Individu pada masa dewasa muda yang mampu membangun dan mempertahankan hubungan percintaan yang positif cenderung lebih puas dengan hidup mereka secara keseluruhan (Adamcyzk & Segrin dalam Xia dkk., 2018). Oleh karena itu, penting bagi individu untuk memastikan bahwa hubungan percintaan yang dijalani bersifat sehat.
Cinta yang sehat ditandai dengan rasa saling menghargai perbedaan, baik dalam sifat, keputusan, maupun hal yang melibatkan orang lain di luar hubungan (Cavaletto dkk., 2025; Haglund dkk., 2019.). Cinta yang sehat juga berarti cinta yang setara. Hubungan yang saling mendukung dan bersifat mutual. Tidak ada ketimpangan dalam hal relasi, sikap, maupun peran dalam hubungan (Cavaletto dkk., 2025; Davies, 2019). Hal penting lainnya dalam cinta yang sehat adalah kemampuan untuk menyampaikan perasaan dan kebutuhan secara asertif serta saling mendengarkan dengan penuh perhatian (Cavaletto dkk., 2025; Forenza dkk., 2018).
Cinta yang sehat memiliki peran penting dalam kehidupan individu karena menciptakan ruang untuk saling mendukung, baik dalam menghadapi masa sulit maupun dalam meraih tujuan pribadi (Apostolou dkk., 2023). Cinta yang sehat ditandai oleh stabilitas serta adanya keseimbangan antara memberi dan menerima dalam interaksi pasangan (Apostolou dkk. 2023). Selain itu, cinta yang sehat mampu memunculkan emosi positif seperti bahagia, hangat, dan optimis (Apostolou dkk., 2023), serta berkontribusi pada kesehatan mental dengan menurunkan depresi, kecemasan, dan kesepian (Almeida & Rodrigues, 2024). Dalam konteks yang lebih luas, cinta yang sehat memiliki keterkaitan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) poin 3 (Good Health and Well-being) karena dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kualitas hidup individu. Selain itu, cinta yang sehat juga mendukung SDGs poin 5 (Gender Equality), melalui hubungan yang seimbang dan saling menghargai. Dengan demikian, membangun cinta yang sehat bukan hanya penting untuk individu, tetapi juga menjadi kontribusi nyata dalam menciptakan lingkungan sosial yang aman, inklusif, dan berkelanjutan.
Sejatinya, cinta yang sehat akan mendorong pertumbuhan pribadi, bukan membuat individu kehilangan jati diri. Namun, hubungan percintaan pada masa dewasa awal seringkali menghadapi tantangan dalam hal penyesuaian kondisi emosional (Furman & Rose dalam Nolanda dkk., 2024). Apabila tantangan ini tidak dapat diatasi dengan baik, hubungan tersebut berisiko berkembang menjadi hubungan yang bersifat toxic. Sebuah hubungan dikatakan toxic apabila membuat salah satu atau kedua pihak merasa tidak didukung, disalahpahami, dan direndahkan, atau bahkan diserang secara emosional (Muhiddin dkk, 2023). Hubungan toxic berdampak negatif secara fisik dan psikologis bagi individu yang terlibat (Azzahra & Suhadi, 2023), termasuk membuat individu merasa kehilangan jati dirinya. Beberapa tanda individu yang mulai kehilangan jati diri dalam hubungan, di antaranya terlalu fokus pada kehidupan pasangan, kurangnya waktu untuk diri sendiri, perasaan bersalah yang disertai ketakutan kehilangan pasangan, terlibat dalam aktivitas yang tidak disukai demi menyenangkan pasangan, serta kebutuhan untuk menjauh dari keluarga dan teman agar tidak ada interaksi selain dengan pasangan (Bandeira dalam Santos & Diniz, 2024).
“You can’t pour from an empty cup.” Kutipan ini mengingatkan bahwa cinta yang sehat berawal dari kemampuan mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Sebelum menjalin hubungan dengan orang lain, penting bagi individu untuk untuk memahami kebutuhan pribadi dan menetapkan batasan yang sehat dalam relasi. Oleh karena itu, sebelum memutuskan untuk menjalin hubungan percintaan, ada baiknya merefleksikan dua hal: (1) Apa yang saya butuhkan untuk merasa utuh? dan (2) Apakah saya mencintai karena ingin memberi atau karena takut kehilangan? Jika jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut masih menunjukkan ketidakutuhan dan ketergantungan emosional, maka mungkin saatnya untuk memprioritaskan diri sendiri terlebih dahulu demi membangun hubungan yang sehat di kemudian hari.
“… hope I will remember that love is not a narrow thing. That love is what makes us care, connects us to each other and the world. That love is a quest, a promise, a home.”
– Natasha Lunn, Conversations on Love.
Penulis: Zabrina Mahardika Putri
REFERENSI:
Almeida, T. D., & Rodrigues, D. L. (2024). The psychology of love. Frontiers in Psychology, 15, 1518730. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2024.1518730
Apostolou, M., Christoforou, C., & Lajunen, T. J. (2023). What are romantic relationships good for? An explorative analysis of the perceived benefits of being in a relationship. Evolutionary Psychology, 21(4), 14747049231210245. https://doi.org/10.1177/14747049231210245
Azzahra, R., & Suhadi, M. F. (2021). Toxic relationship in Anna Todd’s Wattpad story after. Journal of Language, 3(2), 166-176. e-ISSN: 2685-8878
Cavaletto, A., Reed, L. A., Lawler, S. M., Turner, B. G., Walhof, J. K., & Messing, J. T. (2025). “Healthy Relationships”: A scoping review of definitions, components, and measures of healthy dating relationships among teens and young adults. Trauma, Violence, & Abuse, 15248380251325202. https://doi-org.ezproxy.ugm.ac.id/10.1177/1524838025132520
Davies C. T. (2019). This is abuse? Youth women’s perspectives of what’s “OK” and “not OK” in their intimate relationships. Journal of Family Violence, 34, 479–491. https://doi-org.ezproxy.ugm.ac.id/10.1007/s10896-019-00038-2
Forenza, B., Bermea, A., & Rogers, B. (2018). Ideals and reality: Perceptions of healthy and unhealthy relationships among foster youth. Child and Adolescent Social Work Journal, 35(3), 221-230. https://doi-org.ezproxy.ugm.ac.id/10.1007/s10560-017-0523-3
Haglund, K., Belknap, R. A., Edwards, L. M., Tassara, M., Hoven, J. V., & Woda, A. (2019). The influence of masculinity on male Latino adolescents’ perceptions regarding dating relationships and dating violence. Violence against women, 25(9), 1039-1052. https://epublications.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1543&context=nursing_fac
Lunn, N. (2025). Conversations on Love: Lovers, Strangers, Parents, Friends, Endings, Beginnings. Penguin Group.
Mitchell, L. L., Lodi-Smith, J., Baranski, E. N., & Whitbourne, S. K. (2021). Implications of identity resolution in emerging adulthood for intimacy, generativity, and integrity across the adult lifespan. Psychology and Aging, 36(5), 545. https://doi.org/10.1037/pag0000537
Muhiddin, S., Dewi, C. R., & Massinai, S. M. M. (2023). “Supportive” friends vs. “Toxic” friends: Aspects of friendship promoting and hindering youth mental health during Covid-19 pandemic. INSAN Jurnal Psikologi Dan Kesehatan Mental, 8(2), 235–262. https://doi.org/10.20473/jpkm.v8i22023.235-262
Nolanda, C. R., Satiadarma, M. P., & Subroto, U. (2024). Pengaruh toxic relationship dalam berpacaran dengan kualitas hidup dewasa awal. Journal of Social and Economics Research, 6(2), 652-668. E-ISSN: 2715-6966
Santos, L. C. de O., & Diniz , J. C. (2024). Emotional dependence and personality: The mediating role of locus of control. Revista Interamericana De Psicología/Interamerican Journal of Psychology, 58(1), e1902. https://doi.org/10.30849/ripijp.v58i1.1902
Xia, M., Fosco, G. M., Lippold, M. A., & Feinberg, M. E. (2018). A developmental perspective on young adult romantic relationships: Examining family and individual factors in adolescence. Journal of youth and adolescence, 47(7), 1499-1516. doi: 10.1007/s10964-018-0815-8