Menurut Erikson, tugas perkembangan individu pada masa dewasa awal adalah membangun intimacy, yakni kemampuan individu untuk membentuk hubungan yang dekat, terbuka, dan penuh komitmen dengan orang lain (Erikson dalam Mitchell dkk., 2021). Salah satu bentuk intimacy yang umum ditunjukkan oleh individu pada masa ini adalah menjalin hubungan percintaan. Pengalaman menjalin hubungan percintaan pada masa dewasa muda dapat menjadi fondasi yang menentukan kesuksesan individu dalam membangun hubungan interpersonal di masa depan (Fincham & Cui dalam Xia dkk., 2018). Individu pada masa dewasa muda yang mampu membangun dan mempertahankan hubungan percintaan yang positif cenderung lebih puas dengan hidup mereka secara keseluruhan (Adamcyzk & Segrin dalam Xia dkk., 2018). Oleh karena itu, penting bagi individu untuk memastikan bahwa hubungan percintaan yang dijalani bersifat sehat.
Artikel
Pernahkah Teman UKP merasa tidak dapat berhenti membaca berita negatif meskipun lama-kelamaan semakin merasa lelah dan kesal?
Ternyata, peristiwa tadi ada istilahnya loh, yaitu Doomscrolling. Penasaran? Yuk, kita simak lebih lanjut penjelasannya!
Doomscrolling merupakan sebuah istilah baru yang menggambarkan kecenderungan seseorang untuk terus menerus mengonsumsi berita negatif; bahkan ketika hal tersebut menjengkelkan. Sharma et al. (2022) mendefinisikan doomscrolling sebagai perhatian berlebih pada peristiwa-peristiwa negatif yang terkini (khususnya melalui media sosial) sehingga menyebabkan stres, ketidaknyamanan, dan kecemasan.
“Kok rasanya, aku dan dia sekarang udah beda banget, ya?”
Teman UKP, pernah nggak sih kamu merasa makin jauh dari teman dekatmu dulu? Padahal dulu kalian ke mana-mana selalu bersama, tapi sekarang rasanya semakin sulit untuk terhubung. Kalau kamu pernah atau sedang merasakannya, kamu tidak sendiri. Perubahan semacam ini adalah bagian alami dari pertumbuhan kita, terutama pada fase dewasa awal, yaitu usia 18 hingga 25 tahun, di mana banyak dinamika kehidupan mulai bergeser (De Vries et al., 2021; Wrzus & Neyer, 2016).
“…You are beautiful, beautiful, beautiful. Kamu cantik cantik dari hatimu,-”
Siapa yang tidak kenal lagu dari salah satu girl-group asal Indonesia ini—Cherrybelle? Potongan lirik tersebut berasal dari salah lagu mereka yang berjudul “Beautiful” dan dirilis pada tahun 2011. Secara tidak langsung, lagu tersebut ingin menyampaikan terkait pemaknaan lebih mendalam pada kecantikan, di mana kecantikan tidak selalu berasal dari fisik, melainkan juga dari hati, misalnya melalui kepribadian.
Apa itu JOMO?
Joy of Missing Out (JOMO) merupakan sensasi positif yang muncul ketika seseorang merasa lega dan bahagia karena tidak terhubung dengan orang lain (Barry et al., 2023). JoMO terjadi ketika seseorang mengalihkan fokusnya pada “di sini dan sekarang” daripada terus-menerus memikirkan “apa yang mungkin terjadi” atau terobsesi dengan peluang yang terlewatkan (Rees, 2017; Cording, 2018). Berbeda dengan FOMO yang menimbulkan rasa cemas, JOMO mengutamakan keputusan sadar untuk menghindari rasa cemas tersebut dan menikmati ketenangan dengan mengistirahatkan diri dari beragam informasi yang ada di sekitar yang dapat membanjiri pikiran dan membuat merasa lelah (Barry et al., 2023).
Pada dasarnya, JOMO adalah tentang menjadi hadir dan puas dengan kehidupan saat ini (Fuller, 2018). Oleh karena itu, JOMO memungkinkan kita untuk menjalani kehidupan dengan santai. JOMO juga mendorong fokus yang lebih besar pada hubungan antarmanusia sehingga kita dapat merasakan dan memaknai berbagai emosi yang hadir. Selain itu, gaya hidup JOMO dapat meningkatkan produktivitas, fokus, serta kesejahteraan emosional dan fisik. Manfaat secara fisik dan psikologis yang diperoleh ketika menerapkan gaya hidup JOMO sangat erat kaitannya dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya SDGs nomor 3 yang berfokus pada kesehatan dan kesejahteraan. Hal ini karena individu yang sehat dan sejahtera baik secara fisik maupun mental akan dapat terus berkembang dan berkontribusi sebagai masyarakat yang menjadi komponen penting bagi pembangunan berkelanjutan.
Dewasa ini, kemampuan yang kita miliki untuk mengumpulkan banyak informasi terkadang melaju erat dengan ketidakmampuan kita mengolah tumpukan informasi tersebut menjadi bahan yang bernilai guna. Ketidaksinkronan tersebut direpresentasikan oleh istilah information overload yang pertama kali diperkenalkan oleh Gross (1964) sebagai kondisi ketika jumlah informasi yang diterima sebuah sistem (biologis/nonbiologis) melebihi kapasitasnya untuk memproses informasi tersebut.
Fenomena information overload sendiri sulit dilepaskan dari pesatnya perkembangan teknologi yang senantiasa memperluas produksi serta aksesibilitas informasi. Bawden & Robinson (2020) melaporkan pencarian istilah information overload melalui Google menghasilkan jumlah lebih dari tiga juta item. Selain itu, pencarian melalui sebuah database literatur akademik—Web of Knowledge—menghasilkan sekitar 3.000 artikel bertopik serupa.
Belanja impulsif adalah kebiasaan yang sering kali sulit dikendalikan, terutama di era digital dengan kemudahan akses ke e-commerce dan strategi pemasaran yang mendorong pembelian spontan. Untuk mengatasi kebiasaan ini, tren No-Buy Challenge yang populer di TikTok awal tahun 2025 hadir sebagai tantangan menarik yang mengajak pengguna media sosial berhenti membeli barang non-esensial dalam jangka waktu tertentu. Barang non-esensial dalam konteks ini diartikan sebagai barang yang tidak benar-benar dibutuhkan dan tidak memberikan manfaat yang signifikan. Selain mengurangi pembelian barang yang non-esensial, No-Buy Challenge banyak diikuti oleh pengguna media sosial karena membantu individu lebih sadar dalam mengelola keuangan dengan menekankan pentingnya membedakan antara kebutuhan dan kepentingan.
Berdasar data Riskesdas tahun 2013, sebanyak 14 juta orang atau sekitar 6% penduduk Indonesia mengalami gejala-gejala depresi dan kecemasan. Sedangkan, jumlah penderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia mencapai 400.000 orang (Kemenkes, 2013). Gangguan mental dapat mengenai semua golongan dan ditemukan di semua daerah di seluruh dunia (WHO, 2004). Sudahkah kita mengenal diri dan memahami apa yang terjadi pada diri kita? Kapankah kita membutuhkan bantuan profesional psikologi?
Individu yang sehat secara mental dapat mengetahui dan memaksimalkan potensi dirinya. Selain itu, individu juga dapat beradaptasi dan mengatasi berbagai macam situasi yang dihadapi, mampu bekerja produktif, bermanfaat bagi lingkungan, serta mampu melihat permasalahan secara rasional. Individu yang sehat secara mental memiliki relasi dengan keluarga, teman, dan lingkungan kerja atau sekolah yang relatif baik. Individu tersebut cenderung melihat permasalahan secara positif.
Sejak Januari 2016 sampai dengan Mei 2017, jumlah klien minat bakat di Unit Konsultasi Psikologi mencapai 300 orang klien (206 orang klien tahun 2016 dan 94 orang klien tahun 2017) (Database UKP, 2017). Sebagian besar klien datang karena kebingungan dalam menentukan jurusan, baik jurusan SMA/kuliah, maupun minat kerja. Beberapa klien sudah berkuliah di jurusan tertentu, tetapi ingin berganti jurusan karena merasa tidak cocok. Klien lainnya datang karena tidak tahu jurusan yang tepat untuknya. Sedangkan, klien-klien minat bakat kerja beberapa mempermasalahkan promosi, ingin berganti pekerjaan atau mencari tahu pekerjaan yang sesuai untuk dirinya.
Depresi adalah suatu gangguan suasana hati berupa kesedihan yang tidak biasanya dan bertahan lama. Depresi dapat dialami oleh semua orang . Risiko terkena depresi disebabkan oleh tiga faktor yaitu psikologis, lingkungan, dan faktor genetik.
Gejala Depresi
Gejala-gejala depresi biasanya berupa kehilangan gairah hidup , kesedihan yang luar biasa , gangguan tidur ,merasa letih berkepanjangan , kesulitan berkonsetrasi , nafsu makan berkurang atau berlebih dari biasanya.