• Tentang Psikologi UGM
  • CICP
  • CPMH
  • UPAP
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Tentang Unit Konsultasi Psikologi
    • Profil Pengelola
    • Lokasi
  • Paket Layanan
    • Individu Dewasa
    • Individu Anak
    • Pendidikan dan Sekolah
    • Tes Kognitif AJT
    • Pasangan, Rumah Tangga, dan Keluarga
    • Korporasi
  • Alur Layanan
  • Galeri
  • Beranda
  • Artikel
  • Self-Affirmation: Ketika Diri Juga Butuh Diyakinkan

Self-Affirmation: Ketika Diri Juga Butuh Diyakinkan

  • Artikel
  • 22 July 2025, 11.22
  • Oleh: ukp.psikologi
  • 0

“…You are beautiful, beautiful, beautiful. Kamu cantik cantik dari hatimu,-”

Siapa yang tidak kenal lagu dari salah satu girl-group asal Indonesia ini—Cherrybelle? Potongan lirik tersebut berasal dari salah lagu mereka yang berjudul “Beautiful” dan dirilis pada tahun 2011. Secara tidak langsung, lagu tersebut ingin menyampaikan terkait pemaknaan lebih mendalam pada kecantikan, di mana kecantikan tidak selalu berasal dari fisik, melainkan juga dari hati, misalnya melalui kepribadian. 

Tahukah kamu, jika penggalan lirik lagu tersebut merupakan salah satu bentuk dari self-affirmation? Lantas, apa yang dimaksud oleh self-affirmation? Apakah self-affirmation itu penting? Yuk, simak pembahasan lengkapnya melalui artikel berikut!

Apa itu Self-Affirmation

Terkadang kita dihadapkan dengan berbagai hal yang secara tidak langsung dapat mengancam diri. Kegagalan dalam proses studi, permasalahan dalam bidang karier, kendala dalam dinamika berelasi, bombardir pertanyaan dari keluarga yang tak henti-henti, hingga informasi simpang-siur yang membuat kita mempertanyakan pilihan-pilihan pribadi. Dalam menghadapi situasi tersebut, individu dapat melakukan berbagai hal untuk mempertahankan rasa positif terkait dirinya, misalnya dengan mencari validasi, bereaksi defensif, hingga menghindari hal-hal yang dirasa dapat mengancam diri (Sherman et al., 2020). Prinsip yang cukup mirip juga dapat dilihat pada dinamika dalam self-affirmation.  

Teori self-affirmation pertama kali dikenalkan oleh Steele pada tahun 1988. Teori ini menyebutkan ketika menghadapi sesuatu yang menegangkan atau mengancam, individu cenderung termotivasi untuk melindungi integritas diri, mempertahankan rasa kecukupan, dan menjaga harga dirinya sebagai langkah untuk beradaptasi (Steele, 1988). Proses adaptasi tersebut dilakukan melalui penegasan nilai-nilai penting dalam individu dan memisahkan harga dirinya dengan situasi yang terjadi, sehingga individu dapat lebih terbuka, menurunkan kebutuhan untuk menyangkal, dan mengurangi respons stres (Ruiter, 2011; Sherman, 2013; Sherman & Cohen, 2006;  Steele, 1988). 

Singkatnya, self-affirmation adalah tindakan yang melibatkan pemfokusan pada aspek-aspek penting diri untuk memulihkan atau mempertahankan persepsi tentang kecukupan (Chen et al., 2020). Self-affirmation bukan berarti pengabaian emosi negatif, menghindari tanggung jawab atau refleksi, dan berpura-pura semuanya selalu positif, serta menolak informasi atau umpan balik (Chen et al., 2020). 

Sebagai contoh, ketika mengalami kegagalan dalam wawancara kerja dan merasa sedih, self-affirmation mengajak individu untuk menerima emosi yang dirasakan dan memfokuskan pikiran pada kekuatan dan nilai-nilai. Jadi, daripada berpikir, “aku tidak cukup bagus” atau “aku tidak mungkin gagal karena aku sempurna”, dengan self-affirmation individu dapat berpikir, “wawancara ini memang belum berhasil, tetapi aku tahu aku adalah seorang pekerja keras dan terus belajar. Aku punya nilai dan potensi”. 

Mengapa Self-Affirmation Penting?

Berbagai studi telah menemukan efektivitas self-affirmation ini. Studi Chen et al. (2020) menunjukkan bahwa self-affirmation dapat membantu individu mengatasi emosi negatif dan berkaitan dengan self-resources, misalnya self-esteem, optimisme, dan harga diri dalam kelompok. Studi lain juga menemukan jika self affirmation secara signifikan berpengaruh terhadap respons konstruktif pada tekanan, regulasi emosi, kebahagiaan secara umum, mendukung well-being, dan menunjang pengembangan diri (Zuraidy, 2025). Ditambah lagi, efeknya juga dapat berlangsung hingga jangka panjang (Sherman et al., 2020; Zuraidy, 2025). 

Bagaimana Cara Memulainya?

Mengingat berbagai dampak positifnya, self-affirmation dapat menjadi salah satu sarana menarik untuk dikembangkan menjadi suatu kebiasaan. Berikut, langkah-langkah mudah untuk mulai menerapkannya: 

  1. Merefleksikan nilai-nilai pribadi. Hal ini dapat dilakukan melalui journaling atau berdiskusi (Epton et al., 2015; Sherman, 2013). Nilai-nilai tersebut dapat mencakup, keluarga, pendidikan, kejujuran, dan kreativitas.  
  2. Menuliskan pernyataan afirmasi berdasarkan nilai-nilai pribadi dalam kalimat positif dan berfokus pada kekuatan diri (Zuraidy, 2025). Misalnya, “aku orang yang peduli dan selalu belajar”, “saya adalah orang yang peduli dengan keluarga”, dan “aku berharga”. 
  3. Meluangkan waktu khusus setiap hari. Salah satu kunci dari efektivitas self-affirmation adalah pengulangan (Zuraidy, 2025). Oleh karenanya, diperlukan suatu waktu khusus untuk melihat atau membaca pernyataan afirmasi yang dibuat, dapat dilakukan pada pagi hari dan/atau malam hari, dengan cara mengucapkan dengan suara lantang, di depan cermin, hingga menggunakan platform digital berbasis web (Mellergård et al., 2-21; Zuraidy, 2025). 
  4. Menggunakan afirmasi ketika menghadapi tantangan, misalnya ketika mengalami tekanan, kegagalan, ketakutan, dan lain sebagainya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan olah napas, menutup mata, dan mengucapkan pernyataan afirmasi secara berulang (Łakuta, 2020; Zuraidy, 2025). 
  5. Merefleksikan dan menjadikan kebiasaan, misalnya dengan menuliskan dan meletakkan pernyataan afirmasi pada tempat yang mudah dilihat ketika menjalani aktivitas (Zuraidy, 2025). 

Penutup

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa self-affirmation merupakan langkah sederhana, tetapi bermakna, untuk menjaga integritas diri dan memperkuat pandangan positif pada diri. Melihat berbagai manfaatnya, mari kita mulai membiasakan diri untuk menerapkan self-affirmation dalam keseharian. Dengan konsistensi, self-affirmation dapat menjadi kunci untuk memperkuat kesehatan mental dan menunjang tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), terutama SDG 3: Good Health and Well-being (Kehidupan Sehat dan Sejahtera).

 

Penulis: Syu

Referensi

Chen, W. J., Nelson, A. M., Johnson, H. B., & Fleming, R. (2021). Effects of self‐affirmation on emotion and cardiovascular responses. Stress and Health, 37(2), 201-212.

Epton, T., Harris, P., Kane, R., Van Koningsbruggen, G., & Sheeran, P. (2015). The impact of self-affirmation on health-behavior change: a meta-analysis. Health psychology : official journal of the Division of Health Psychology, American Psychological Association, 34 3, 187-96 . https://doi.org/10.1037/hea0000116.

Łakuta, P. (2020). Using the theory of self-affirmation and self-regulation strategies of mental contrasting and forming implementation intentions to reduce social anxiety symptoms. Anxiety, Stress, & Coping, 33, 370 – 386. https://doi.org/10.1080/10615806.2020.1746283.

Mellergård, E., Johnsson, P., & Eek, F. (2021). Developing a web-based support using self-affirmation to motivate lifestyle changes in type 2 diabetes: A qualitative study assessing patient perspectives on self-management and views on a digital lifestyle intervention. Internet Interventions, 24. https://doi.org/10.1016/j.invent.2021.100384.

Zuraidy, N. A. (2025). Positive Affirmation Self-Talk, Impacts on Well-Being, When and How to Start Doing it. International Journal of Social Health 4(1). https://doi.org/10.58860/ijsh.v4i1.279

Ruiter, M. E. (2011). Self‐affirmation and working memory capacity’s influence on adherence to brief behavioral insomnia treatment. Dissertation Abstracts International, 73, 1234.

Sherman, D. (2013). Self-Affirmation: Understanding the Effects. Social and Personality Psychology Compass, 7, 834-845. https://doi.org/10.1111/SPC3.12072.

Sherman, D. K., & Cohen, G. L. (2006). The psychology of self‐defense: Self‐affirmation theory. In M. P. Zanna & M. P. Zanna (Eds.), Advances in experimental social psychology (Vol. 38, pp. 183–242). San Diego, CA: Elsevier Academic Press. https://doi.org/10.1016/S0065-2601 (06)38004-5 

Sherman, D.K., Lokhande, M., Müller, T.S., & Cohen, G.L. (2020). Self‐Affirmation Interventions.

Steele, C. M., & Liu, T. J. (1983). Dissonance processes as self‐affirmation. Journal of Personality and Social Psychology, 45(1), 5–19. https://doi. org/10.1037/0022-3514.45.1.5

Tags: afirmasi diri good health and well-being positive psychology SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera SDG’s 3 self-affirmation

Leave A Comment Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*

Berita Terakhir

  • Fenomena Doomscrolling: Benarkah Membaca Berita Negatif Terus-Menerus Dapat Membuat Kita Lelah Secara Mental?
  • Outgrowing Friendships: Saat Pertemanan Tidak Lagi Sama
  • Self-Affirmation: Ketika Diri Juga Butuh Diyakinkan
  • JOMO: Pilihan Sadar untuk Kehidupan yang Lebih Tenang dan Bermakna
  • Menangkal Informasi Tak Terbatas dan Melampauinya
Universitas Gadjah Mada

Unit Konsultasi Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada
Gedung D lantai 2
Jl. Sosio Humaniora Bulaksumur Yogyakarta 55281 Indonesia
 +62(274)550435 ext 131 | +62 857 5916 1581
 +62(274)550435 ext 158
ukp.psikologi[at]ugm.ac.id | ukpugm[at]gmail.com
 instagram.com/ukpugm

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

Daftar via WhatsApp

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju